Oleh: Firdaus W.H Wong
Artikel saya kali ini bukanlah untuk untuk mengutuk mahupun membela pembikin video Raya bersama anjing kerana semua sedia maklum saya telahpun menulisnya di laman Facebook saya namun saya ingin mengajak para sahabat untuk menilai kenajisan anjing dari sudut yang berlainan sebagaimana penulisan saya yang lalu. Saya bukanlah ustaz mahupun ulamak tetapi saya hanya mahu berkongsi ilmu berkaitan dengan anjing menurut Islam. Saya jarang membicarakan isu fekah melainkan ianya ada kaitan dengan dakwah dan sebagainya kerana itu bukanlah kepakaran saya.
"Pak Mie bersama dengan anjing yang diselamatkannya" |
"Adapun tentang anjing, para ulama berselisih dalam tiga pendapat;
Pertama, bahwa anjing adalah suci, termasuk liurnya. Ini adalah mazhab Malik. Kedua, bahwa anjing adalah najis termasuk bulunya. Ini adalah mazhab Syafi'I, dan salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad. Ketiga, bulu anjing suci, sedangkan liurnya najis. Ini adalah pendapat mazhab Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad.
Pendapat ketiga adalah pendapat yang paling benar. Maka jika bulu anjing yang lembab menempel pada baju atau tubuh seseorang, hal itu tidak membuatnya najis."
[Majmu Fatawa, 21/530]
Beliau berkata di tempat lain;
"Hal demikian, karena asal pada setiap benda adalah suci, maka tidak boleh menyatakan sesuatu najis atau haram kecuali berdasarkan dalil.
Sayid Sabiq juga menyebut;
"Mengenai bulu anjing, maka yang terkuat ia adalah suci dan tak ada alasan mengatakannya najis."
[Fikih Sunnah, Jilid 1, Bab Thaharah, ms 58]
Maka kita dapat lihat bahawa terdapat beberapa pendapat mengenai kesucian anjing di antara ulamak maka kita sebagai Muslim haruslah berlapang dada dalam menangani isu sebegini serta senantiasa agree to disagree. Jikalau kita memilih pendapat bahawa ianya najis mutlak maka hormatilah mereka yang memilih pendapat bahawa ianya bukan najis mutlak dan sebaliknya. Ukhwah sesama Muslim juga akan terpelihara jikalau kita semua bersikap berlapang dada dalam isu ranting sebegini.
Apakah dibolehkan memelihara anjing untuk menjaga rumah?
Apakah dibolehkan memelihara anjing untuk menjaga rumah?
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Siapa yang memelihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga hewan ternak, berburu dan menjaga tanaman, maka akan dikurangi pahalanya setia hari sebanyak satu qirath."
[HR. Muslim, no. 1575]
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
"Siapa yang memelihara anjing, kecuali anjing untuk memelihara ternak, atau berburu, maka akan dikurangi amalnya setiap hari sebanyak dua qirath."
[HR. Bukhari, no. 5163, Muslim, no. 1574]
Imam Nawawi berkata,
"Diperselisihkan dalam hal memelihara anjing selain untuk tujuan yang tiga di atas, seperti untuk menjaga rumah, jalanan. Pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan, sebagai qiyas dari ketiga hal tersebut, karena adanya illat (alasan) yang dapat disimpulkan dalah hadits, yaitu: Kebutuhan."
[Syarh Muslim, 10/236]
Dalam mengkompromikan riwayat antara satu qirath dan dua qirath terdapat beberapa pendapat;
Al-Hafiz Al-Aini rahimahullah berkata,
Kemungkinan perbedaan keduanya tergantung macam anjingnya, salah satunya lebih berbahaya. Ada juga yang mengatakan bahwa dua qirath jika memeliharanya di kota dan desa, sedangkan yang satu qirath, jika memeliharanya di pedalaman. Ada juga yang mengatakan bahwa kedua riwayat tersebut disampaikan dalam dua zaman yang berbeda. Pertama disampaikan satu qirath, kemudian ancamannya ditambah, lalu disebut dua qirath.
Kedua: Adapun ucapan penanya bahwa "Memelihara anjing adalah meyimpan najis" tidak dapat dibenarkan secara mutlak. Karena yang dikatagorikan najis adalah bukan anjingnya, tapi liurnya apabila dia minum dari sebuah wadah. Siapa yang menyentuh anjing atau disentuh anjing, maka tidak wajib baginya mensucikan dirinya, tidak dengan debu, tidak pula dengan air. Jika seekor anjing minum dari sebuah wadah, maka air di wadah tersebut harus ditumpah dan dicuci sebanyak tujuh kali, yang kedelapan dicuci dengan debu, jika dia ingin menggunakannya. Jika wadah tersebut khusus dia gunakan untuk anjing, maka tidak perlu disucikan.
[Umdatul Qari, 12/158]
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
"Sucinya wadah kalian apabila dijilat anjing, adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan pertama dengan debu."
[HR. Muslim, no. 279]
"Jika anjing menjilati wadah, maka basuhlah sebanyak tujuh kali, dan yang kedelapan taburkan dengan tanah."
[HR. Muslim, no. 280]
Setelah mengkaji dalil masing-masing mazhab, Sheikh Dr Yusuf al-Qaradhawi merumuskan:
Di antara yang najis ialah air liur anjing. Disebut dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim daripada Abu Hurairah, bahawa Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila seekor anjing minum dalam bekas salah seorang daripada kamu, maka basuhlah ia tujuh kali."
Ini juga sebagaimana telah ditetapkan menurut hadis keduanya (al-Bukhari dan Muslim) dan selain keduanya daripada hadis ‘Abd Allah bin Mughaffal tentang kenajisannya. Dengan demikian, jelaslah tentang najisnya air liur anjing itu.
Bahkan, di sana ada beberapa fuqaha yang menyebut tentang kenajisan semua anggota tubuh anjing. Padahal tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini baik dari Al-Quran maupun sunnah Rasulullah. Sedangkan pengambilan dalil tentang dijilat atau minumnya anjing dari tempat air, maka itu khusus untuk sesuatu yang dijilat saja. Tidak ada yang menunjukkan pada kenajisan anjing secara keseluruhan: daging, tulang, darah, bulu, dan keringat. Sedangkan mengqiyaskan ini dengan jilatan anjing, adalah bentuk qiyas yang sangat jauh sekali, sebagaimana disebut oleh Imam al-Syaukani. Khususnya jika dikaitkan dengan hadits ‘Abd Allah ibn ‘Umar (yang menerangkan.
“Anjing masuk dan keluar di masjid pada masa Rasulullah dan para sahabat tidak memercikkan air apa pun.”
[HR al-Bukhari dan Abu Daud]
Ada juga sebagian yang lain yang mengatakan tentang kesucian semua anggota tubuh anjing dan mengatakan, sesungguhnya dicucinya tempat yang dijilat anjing adalah masalah yang bersifat ibadah (ta'abbudi), yang hikmahnya hanya Allah yang tahu. Sedangkan yang wajib kita lakukan adalah mengamalkan apa yang ada di dalam nash walaupun kita tidak mengetahui hikmahnya. Ini adalah madzhab Imam Malik.
Imam Malik berhujah bahwa Allah membolehkan makan dari hasil buruan anjing tanpa memerintahkan kita untuk mencucinya. Sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan;
Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad): “Apakah (makanan) yang dihalalkan bagi mereka?” Bagi menjawabnya katakanlah: “Dihalalkan bagi kamu (memakan) yang lazat-lazat serta baik, dan (buruan yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu yang telah kamu ajar (untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. Kamu mengajar serta melatihnya (adab peraturan berburu) sebagaimana yang telah diajarkan Allah kepada kamu. Oleh itu makanlah dari apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah nama Allah atasnya.
[al-Maidah 5:4]
Sedangkan saya sendiri (al-Qaradhawi) cenderung pada pendapat Imam Malik bahwa semua yang hidup adalah suci. Demikianlah juga dengan anjing. Dalam zatnya dia suci. Oleh sebab itulah dibolehkan bagi kita untuk memakan hasil buruannya. Dan perintah Nabi untuk mencuci apa yang dijilat anjing adalah sesuatu yang bersifat ta'abbudi. Sedangkan penemuan ilmu moden tentang sesuatu yang menyangkut air liur anjing bahwa di dalamnya ada penyakit-penyakit, kemungkinan penemuan selanjutnya akan lebih mengejutkan.
Sekian al-Qaradhawi.
[Fiqh al-Thaharah (edisi Indonesia atas judul yang sama; al-Kautsar, Jakarta 2004), ms. 21-22]